Secara etimologi, kata “monopoli” berasal dari kata Yunani ‘Monos’
yang berarti sendiri dan ‘Polein’ yang berarti penjual. Dari akar kata tersebut
secara sederhana orang lantas memberi pengertian monopoli sebagai suatu kondisi
dimana hanya ada satu penjual yang menawarkan (supply) suatu barang atau jasa
tertentu. (Arie Siswanto:2002).
Disamping istilah monopoli di USA sering digunakan kata
“antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau
istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan
dengan arti istlah “monopoli”. Disamping itu terdapat istilah yang artinya
hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu
istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling
dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk
menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar, dimana di pasar
tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya
kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang
lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang
permintaan dan penawaran pasar.
Sebelum dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pengaturan mengenai persaingan usaha tidak
sehat didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata mengenai perbuatan melawan hukum
dan Pasal 382 bis KUH Pidana.
Berdasarkan rumusan
Pasal 382 bis KUH Pidana, seseorang dapat dikenakan sanksi pidana penjara
paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas
ribu lima ratus ribu rupiah atas tindakan persaingan curang bila memenuhi
beberapa kriteria sebagai berikut:
1. Adanya tindakan tertentu yang
dikategorikan sebagai persaingan curang.
2. Perbuatan
persaingan curang dilakukan dalam rangka mendapatkan, melangsungkan, dan
memperluas hasil dagangan atau perusahaan.
3. Perusahaan, baik
milik pelaku maupun perusahaan lain, diuntungkan karena persaingan curang
tersebut.
4. Perbuatan
persaingan curang dilakukan dengan cara menyesatkan khalayak umum atau orang
tertentu.
5. Akibat dari
perbuatan persaingan curang tersebut menimbulkan kerugian bagi konkruennya dari
orang lain yang diuntungkan dengan perbuatan pelaku.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan pengertian monopoli,
yaitu suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha. Yang
dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap orang-perorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa
pelaku usaha dapat dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi
atau pemasaran barang atau jasa, jika kelompok usaha menguasai lebih dari 75%
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Dengan demikian praktik monopoli
harus dibuktikan dahulu adanya unsur yang mengakibatkan persaingan tidak sehat
dan merugikan kepentingan umum.
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha.
Asas dan Tujuan Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat
Dalam melakukan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan
demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan umum dan
pelaku usaha. Sementara itu tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah sbb:
1. Menjaga kepentingan
umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2. Mewujudkan iklim
usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga
menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha
besar, menengah, dan kecil.
3. Mencegah praktik
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
4. Menciptakan efektivitas dan efisiensi
dalam kegiatan usaha.
Kegiatan yang Dilarang dalam Monopoli
Dalam UU No.5 Tahun 1999,kegiatan yang dilarang diatur dalam pasal
17 sampai dengan pasal 24. Undang undang ini tidak memberikan defenisi
kegiatan,seperti halnya perjanjian. Namun demikian, dari kata “kegiatan” kita
dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kegiatan disini adalah
aktivitas,tindakan secara sepihak. Bila dalam perjanjian yang dilarang
merupakan perbuatan hukum dua pihak maka dalam kegiatan yang dilarang adalah
merupakan perbuatan hukum sepihak.
Adapun kegiatan
kegiatan yang dilarang tersebut yaitu :
1. Monopoli
Adalah penguasaan atas
produksi dan pemasaran barang atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku
usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Undang-undang no.5 tahun 1999 merumuskan
beberapa kriteria sebagai berikut :
a. Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
b. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana maksud dalam ayat
(a) apabila: barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada subtitusinya;
c. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk dalam persaingan
dan atau jasa yang sama; atau,
d. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih
dari 50 % (lima puluh persen) pasangsa pasar atau jenis barang atau jasa
tertentu.
2. Monopsoni
Adalah situasi pasar
dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai
pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal,sementara pelaku
usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya
banyak. Pasal 28 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 mengatur tentang larangan praktik monopsoni, yaitu sebagai
berikut.;
a. Pelaku usaha dilarang melakukan menguasai penerimaan pasokan atau
menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
b. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan
pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (a)
apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima
puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
3. Penguasaan pasar
Di dalam UU no.5
tahun1999 Pasal 19,bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang
dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli
atau persaingan usaha tidak sehat yaitu :
a. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan
kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan;
b. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk
tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
c. Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada
pasar bersangkutan;
d. Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
4. Persengkongkolan
Persekongkolan berarti
berkomplot atau bersepakat melakukan kecurangan. Ada beberapa bentuk
persekongkolan yang dilarang oleh UU Nomor 5 Th. 1999 dalam Pasal 22 sampai
Pasal 24, yaitu sbb:
a. Dilarang melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur
dan atau menentukan pemenang tender sehingga mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat.
b. Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapat informasi
kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan rahasia perusahaan.
c. Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengahambat produksi
dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaing dengan maksud agar
barang dan atau jasa yang ditawarkan menjadi berkurang, baik jumlah, kualitas
maupun kecepatan waktu yang disyaratkan.
5. Posisi Dominan
Artinya pengaruhnya
sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan
posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai
pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang
dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di
pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada
pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan
barang atau jasa tertentu.
Persentase penguasaan
pasar oleh pelaku usaha sehingga dapat dikatakan menggunakan posisi dominan
sebagaimana ketentuan di atas adalah sbb:
a. Satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau
lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
b. Dua atau tiga pelaku usaha satau satu kelompok pelaku usaha
menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa.
6. Jabatan rangkap
Dalam Pasal 26
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seseorang yang menduduki
jabatan direksi atau komisaris suatu perusahaan dilarang merangkap menjadi
direksi atau komisaris perusahaan lain pada waktu yang bersamaan apabila:
a. Berada dalam pasar bersangkutan yang sama.
b. Memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha.
c. Secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa
tertentu yang dapat menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak
sehat.
7. Pemilikan saham
Pelaku usaha dilarang
memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan
usaha dalam bidang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan
beberapa perusahaan yang sama bila kepemilikan tersebut mengakibatkan
persentase penguasaan pasar yang dapat dikatakan menggunakan posisi dominan (UU
Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 27).
8. Penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan
Dalam menjalankan
perusahaan, pelaku usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum,
yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus-menerus dengan tujuan
mencari laba, secara tegas dilarang melakukan tindakan penggabungan ,
peleburan, dan pengambilalihan yang berakibat praktik monopoli dan persaingan
tidak sehat (UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 28). Hanya penggabungan yang bersifat
vertikal yang dapat dilakukan sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 14.
Perjanjian yang Dilarang dalam Monopoli dan Persaingan Usaha
Jika dibandingkan dengan pasal 1313 KUH Perdata, UU No.5 tahun
1999 lebih menyebutkan secara tegas pelaku usaha sebagai subyek hukumnya, dalam
undang-undang tersebut, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu
atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku
usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis . Hal ini
namun masih menimbulkan kerancuan. Perjanjian dengan ”understanding” apakah
dapat disebut sebagai perjanjian. Perjanjian yang lebih sering disebut sebagai
tacit agreement ini sudah dapat diterima oleh UU Anti Monopoli di beberapa
negara, namun dalam pelaksanaannya di UU No.5 Tahun 1999 masih belum dapat
menerima adanya ”perjanjian dalam anggapan” tersebut.
Sebagai perbandingan
dalam pasal 1 Sherman Act yang dilarang adalah bukan hanya perjanjian
(contract), termasuk tacit agreement tetapi juga combination dan conspiracy.
Jadi cakupannya memang lebih luas dari hanya sekedar ”perjanjian” kecuali jika
tindakan tersebut—collusive behaviour—termasuk ke dalam kategori kegiatan yang
dilarang dalam Undang-Undang Anti Monopoli . Perjanjian yang dilarang dalam UU
No.5 Tahun 1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebagai berikut, ;
1. Oligopoli
Oligopoli merupakan
keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang berjumlah sedikit sehingga
dapat mempengaruhi pasar, maka:
a. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
dengan secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa.
b. Pelaku usaha patut diduga melakukan penguasaan produksi dan atau
pemasaran barang atau jasa bila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku
usaha menguasai >75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
2. Penetapan harga
Dalam rangka penetralisasi
pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
a. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga
atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada
pasar bersangkutan yang sama.
b. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan
harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang
dan atau jasa yang sama.
c. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaing untuk menetapkan harga di
bawah harga pasar.
d. Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa
penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan
atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah dari harga yang telah
dijanjikan.
3. Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan membagi
wilayah pemasaran atau lokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
4. Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang
melakukan perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi
pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar
dalam negeri maupun luar negeri.
Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menolak menjual setiap
barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut
berakibat:
a. Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain,
b. Membatasi pelaku usaha lain dalam menjaul atau membeli setiap
barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.
5. Kartel
Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud mempengaruhi
harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang atau jasa.
6. Trust
Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan
membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar dengan tetap
menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap perusahaan atau peseroan anggotanya
yang bertujuan mengontrol produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa.
7. Oligopsoni
Keadaan dimana dua
atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli
tunggal atas barang atau jasa dalam suatu pasar komoditas, diantaranya:.
a. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
yang bertujuan menguasai pembelian atau penerimaan pasokan secara bersama-sama
agar dapat mengendalikan harga barang atau jasa dalam pasar yang bersangkutan.
b. Pelaku usaha dapat diduga atau dianggap secara bersama-sama
menguasai pembelian atau penerimaan pasokan apabila dua atau tiga pelaku usaha
atau kelompok pelaku usaha menguasai >75% pangsa pasar satu jenis barang
atau jasa tertentu.
8. Integrasi vertikal
Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan menguasai produksi
sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa
tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau
proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
9. Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak
yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok
kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak dan atau tempat tertentu.
Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang
menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau
jasa lain dari pelaku.
Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan
atau jasa yang membuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan
atau jasa dari pelaku usaha pemasok, antara lain:
a. Harus bersedia membeli barang dan atau jasa dari pelaku usaha
pemasok,
b. Tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis
dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
10. Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
Hal-hal yang Dikecualikan dalam Monopoli
Di dalam Undang-Undang
Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999,terdapat hal-hal yang dikecualikan,yaitu
Pasal 50
a. Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual
seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri,
rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang
berkaitan dengan waralaba;
c. Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa
yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;
d. Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat
ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih
rendah daripada harga yang telah diperjanjikan;
e. Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan
standar hidup masyarakat luas;
f. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah
Republik Indonesia;
g. Perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang
tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri;
h. Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil;
i. Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk
melayani anggotanya.
Pasal 51
Monopoli dan atau
pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan
atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh
Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau
ditunjuk oleh Pemerintah.
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga
independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999
tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU menjalankan tugas
untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut:
1. Perjanjian yang
dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara
bersama-sama mengontrol produksi dan pemasaran barang atau jasa yang dapat
menyebabkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat seperti
perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot,
perjanjian tertutup, oligopoli, predatory
pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat
menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
2. Kegiatan yang
dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan pemasaran melalui pengaturan
pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoliatau persaingan usaha
tidak sehat.
3. Posisi dominan,
pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk
membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku
usaha lain.
Dalam pembuktian, KPPU
menggunakan unsur pembuktian perseillegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat
dampak yang ditimbulkan.
Keberadaan KPPU
diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat:
1. Konsumen tidak lagi menjadi korban
posisi produsen sebagai price taker.
2.Keragaman produk dan harga dapat
memudahkan konsumen menentukan pilihan.
3. Efisiensi alokasi sumber daya alam.
4. Konsumen tidak lagi
diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada
pasar monopoli.
5. Kebutuhan konsumen
dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya.
6. Menjadikan harga
barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi.
7. Membuka pasar
sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak.
8. Menciptakan inovasi
dalam perusahaan.
Sanksi dalam Monopoli dan Persaingan Usaha
Pasal 36 UU Anti
Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan
dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga
berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
UU Anti Monopoli. Apa saja yang
termasuk dalam sanksi administratifdiatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti
Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi
administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48
menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam
Pasal 49.
Pasal 48
1. Pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai
dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
2. Pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai
dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana penjara pengganti
denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
3. Pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda
selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal 49
Dengan menunjuk
ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
1. Pencabutan izin usaha; atau
2. Larangan kepada
pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang
ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua)
tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
3. Penghentian
kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak
lain.
Aturan ketentuan
pidana di dalam UU Antimonopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara
tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks
pidana.
Sumber :