2/3.7 Ekonomi Indonesia setiap Periode Pemerintahan
Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi
Orde Lama
a)
Periode 1945 – 1950.
b)
Periode demokrasi parlementer/liberal
(1950 – 1959)
Banyak
partai politik
Sektor
formal: pertambangan, pertanian, distribusi, bank, dan transportasi yang padat
modal dan dikuasai oleh asing serta berorientasi ekspor memberikan kontribusi
yang lebih besar terhadap PDB
8
kali perubahan kabinet:
ü Kabinet
Hatta dengan kebijakan Reformasi moneter via devaluasi mata uang local (Gulden)
dan pemotongan uang sebesar 50% atas uang kertas yang beredar yang dikeluarkan
oleh De Javasche Bank dengan nilai nominal > 2,50 Gulden Indonesia.
ü Kabinet
Natsir dengan kebijakan perumusan perencanaan pembangunan ekonomi yang disebut
dengan Rencana Urgensi Perekonomian (RUP)
ü Kabinet
Sukiman dengan kebijakan nasionalisasi oleh De Javasche Bank menjadi Bank
Indonesia dan penghapusan system kurs berganda
ü Kabinet
Wilopo dengan kebijakan anggaran berimbang dalam APBN, memperketat impor,
merasionalisasi angkatan bersenjata dengan modernisasi dan pengurangan jumlah
personil, serta pengiritan pengeluaran pemerintah
ü Kabinet
Ali I dengan kebijakan pembatasan impor dan kebijakan uang ketat
ü Kabinet
Burhanudin dengan kebijakan liberalisasi impor, kebijakan uang ketat untuk
menekan jumlah uang yang beredar, dan penyempurnaan program benteng (bagian
dari program RUP yakni program diskriminasi rasial untuk mengurangi dominasi
ekonomi), memperkenankan investasi asing
masuk ke Indonesia, membantu pengusaha pribumi, serta menghapus persetujuan
meja bundar (menghilangkan dominasi belanda perekonomian nasional.
ü Kabinet
Ali II dengan kebijakan rencana pembangunan lima tahun 1956 - 1960
ü Kebinet
Djuanda dengan kebijakan stabilitas politik dan nasionalisasi perusahaan
belanda.
c)
Periode demokrasi terpimpin (1959 –
1965)
Dilakukan
nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan belanda.
Lebih
cenderung kepada pemikiran sosialis komunis
Politik
tidak stabil sampai pada puncaknya pada September 1965
ORDE BARU
Pada
awal orde baru, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas
utama. Program pemerintah berorientasi pada usaha pengendalian inflasi,
penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat.
Pengendalian inflasi mutlak dibutuhkan, karena pada awal 1966 tingkat inflasi
kurang lebih 650 % per tahun.
Setelah melihat pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila. Ini merupakan praktek dari salahsatu teori Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas. Jadi, dalam kondisi-kondisi dan masalah-masalah tertentu, pasar tidak dibiarkan menentukan sendiri. Misalnya dalam penentuan UMR dan perluasan kesempatan kerja. Ini adalah awal era Keynes di Indonesia. Kebijakan-kebijakan pemerintah mulai berkiblat pada teori-teori Keynesian.
Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur pemerataan : kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita dan generasi muda, penyebaran pembangunan, dan peradilan. Semua itu dilakukan dengan pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan lima tahun).
Hasilnya, pada tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka kemiskinan, perbaikan indikator kesejahteraan rakyat seperti angka partisipasi pendidikan dan penurunan angka kematian bayi, dan industrialisasi yang meningkat pesat. Pemerintah juga berhasil menggalakkan preventive checks untuk menekan jumlah kelahiran lewat KB dan pengaturan usia minimum orang yang akan menikah.
Namun dampak negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber-sumber daya alam, perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam, serta penumpukan utang luar negeri. Disamping itu, pembangunan menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang adil. Sehingga meskipun berhasil meningkatkan
Setelah melihat pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila. Ini merupakan praktek dari salahsatu teori Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas. Jadi, dalam kondisi-kondisi dan masalah-masalah tertentu, pasar tidak dibiarkan menentukan sendiri. Misalnya dalam penentuan UMR dan perluasan kesempatan kerja. Ini adalah awal era Keynes di Indonesia. Kebijakan-kebijakan pemerintah mulai berkiblat pada teori-teori Keynesian.
Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur pemerataan : kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita dan generasi muda, penyebaran pembangunan, dan peradilan. Semua itu dilakukan dengan pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan lima tahun).
Hasilnya, pada tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka kemiskinan, perbaikan indikator kesejahteraan rakyat seperti angka partisipasi pendidikan dan penurunan angka kematian bayi, dan industrialisasi yang meningkat pesat. Pemerintah juga berhasil menggalakkan preventive checks untuk menekan jumlah kelahiran lewat KB dan pengaturan usia minimum orang yang akan menikah.
Namun dampak negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber-sumber daya alam, perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam, serta penumpukan utang luar negeri. Disamping itu, pembangunan menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang adil. Sehingga meskipun berhasil meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi, tapi secara fundamental pembangunan nasional sangat rapuh. Akibatnya,
ketika terjadi krisis yang merupakan imbas dari ekonomi global, Indonesia
merasakan dampak yang paling buruk. Harga-harga meningkat secara drastis, nilai
tukar rupiah melemah dengan cepat, dan menimbulkan berbagai kekacauan di segala
bidang, terutama ekonomi.
ORDE REFORMASI
Pemerintahan
presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan
manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya
diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan
presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk
menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi
yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi,
dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang
menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya
digantikan oleh presiden gusdur.
Daftar Pustaka :
https://dzikiarasdw.wordpress.com/tag/cita-cita-ideal-pendiri-bangsa/
http://sutrasurga.blogspot.com/2013/10/cita-cita-sistem-ekonomi-indonesia.html
http://onlinebuku.com/2009/03/06/sejarah-perekonomian-indonesia/
http://sutrasurga.blogspot.com/2013/10/cita-cita-sistem-ekonomi-indonesia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar